Gunung
Pinang terletak di Kabupaten Serang, Banten, tepatnya di samping jalur lalu
lintas Serang-Cilegon. Menurut cerita, gunung yang sering menjadi tempat piknik
ini merupakan penjelmaan perahu seorang saudagar kaya yang bernama Dampu Awang.
Peristiwa apakah yang menyebabkan perahu Dampu Awang menjelma menjadi Gunung
Pinang? Kisahnya dapat ikuti dalam cerita Legenda Gunung Pinang berikut
ini.
* * *
Alkisah, di sebuah perkampungan nelayan di
daerah pesisir teluk Banten, hiduplah seorang janda tua dengan anak
laki-lakinya yang bernama Dampu Awang. Sejak kematian sang Ayah beberapa tahun
silam, Dampu Awang harus bekerja keras membantu ibunya mencari kerang di pantai.
Sudah bertahun-tahun mereka melakoni pekerjaan itu, namun hidup mereka tetap
serba kekurangan. Dompu Awang yang telah berusia remaja itu sudah jenuh dan
bosan dengan keadaan tersebut. Ia berpikir bahwa jika ia tetap tinggal di
kampungnya, nasib keluarganya tidak akan berubah. Dengan begitu, timbullah
keinginannya untuk merantau ke Negeri Malaka.
Pada
suatu malam, Dampu Awang menyampaikan niat itu kepada ibunya. Tanpa diduganya,
perempuan yang telah melahirkannya itu tidak merestuinya. Walaupun ia telah
memberikan berbagai alasan dan rayuan, sang Ibu tetap tidak merestuinya pergi.
“Ibu tidak akan mengizinkanmu pergi, Anakku,” cegah ibunya.
“Tapi, Bu!” sergah Dampu Awang.
“Sudahlah, Dampu! Ibu mengerti perasaanmu bahwa kamu sudah
tidak tahan lagi hidup menderita seperti ini. Tapi, jika kamu pergi siapa lagi
yang akan menemani Ibu di sini, Anakku!” ujar ibunya.
“Bu! Dampu berjanji, kalau sudah berhasil, Dampu akan segera
kembali menemani dan membahagiakan Ibu. Kita akan membangun rumah mewah seperti
rumah para bangsawan di kampung ini,” bujuk Dampu Awang.
“Sudahlah, Dampu! Berhentilah berhayal seperti itu! Ibu
sudah lelah mendengar semua bujuk rayumu. Ibu akan merasa bahagia jika kamu
tetap berada di samping Ibu,” ujar ibu Dampu seraya merebahkan tubuhnya di atas
balai-balai bambu.
Dampu
Awang tidak dapat lagi berkata-kata. Ia mengerti perasaan ibunya, meskipun di
hatinya tersimpan rasa kecewa. Dengan langkah pelan, ia keluar dari gubuknya
lalu duduk bersandar pada pohon nyiur sambil menikmati semilir angin malam
pantai teluk Banten. Pandangangnya tajam seolah-olah menembus kegelapan malam.
Pikirannya terbang nun jauh di sana meninggalkan kepenatan hidup dan kekecewaan
atas sikap ibunya. Di wajahnya terpancar secercah sinar harapan yang akan
menerangi hidupnya.
“Ya, Tuhan! Tolong bukakanlah pintu hati Ibu hamba agar ia
mengerti bahwa di Negeri Malaka sana banyak sekali pekerjaan yang akan membuat
hamba menjadi kaya raya,” ucap Dampu Awang dengan penuh harapan.
Tanpa
disadarinya, sang Ibu sedang memerhatikannya dari balik jendela. Perempuan
setengah baya itu tak kuasa membendung air matanya. Ia merasa bersalah karena
telah mengecewakan anak semata wayangnya. Malam semakin larut. Janda tua itu
kembali merebahkan tubuhnya hingga tertidur lelap. Tak berapa lama kemudian,
Dampu Awang masuk ke dalam gubuk, lalu tidur di samping ibunya.
Keesokan
paginya, perempuan tua itu menghampiri Dampu Awang yang baru saja terbangun.
“Dampu, Anakku!” sapa ibunya dengan lembut.
“Ada apa, Bu?” tanya Dampu sambil menatap wajah ibunya.
Dampu melihat ibunya tersenyum. Ada kehangatan cinta yang
terpancar dari tatapan mata ibunya.
“Dampu, Anakku! Ibu tidak bermaksud melarangmu merantau.
Tapi, ketahuilah! Umur Ibu sudah udzur. Ibu khawatir kelak kita takkan bertemu
lagi. Ibu tidak memiliki siapa-siapa lagi dunia ini selain dirimu, Anakku!”
ujar ibunya dengah penuh rasa haru.
“Tenanglah, Bu! Dampu tidak akan lama di perantauan. Setelah
berhasil, Dampu akan segera pulang menemani Ibu di sini,” hibur Dampu Awang.
Ibunya kembali tersenyum lembut.
“Baiklah, Anakku! Jika itu sudah menjadi tekadmu, Ibu
mengizinkan kamu pergi. Tapi ingat! Kamu harus berjanji cepat kembali jika
sudah berhasil,” ujar ibunya.
Betapa
bahagia hati Dampu Awang mendapat restu dari ibunya. Tubuhnya terasa mendapat
kekuatan yang luar biasa. Darah di tubuhnya yang semula serasa membeku kembali
mengalir. Ia tidak mampu lagi menyembunyikan perasaan bahagianya. Air matanya
menetes membasahi kedua pipinya.
“Terima kasih, Bu! Dampu berjanji akan segera kembali untuk
membahagiakan Ibu,” ucap Dampu Awang seraya memeluk ibunya.
“Iya, Anakku! Sekarang persiapkanlah barang-barang yang akan
kamu bawa pergi. Besok pagi ada kapal yang akan berangkat ke Negeri Malaka.
Pergilah temui Teuku Abu Matsyah pemilik kapal itu! Barangkali saja dia
bersedia membawamu pergi berlayar bersamanya,” ujar ibunya.
Setelah
menyiapkan bekalnya, Dampu Awang segera menemui Teuku Abu Matsyah di pelabuhan.
“Tuan! Bolehkah saya ikut berlayar bersama
Tuan? Tapi maaf Tuan, saya tidak mempunyai uang untuk membayar ongkos kapal.
Kalau Tuan berkenan, saya akan membayarnya dengan tenaga,” pinta Dampu.
Melihat
ketulusan hati Dampu, Teuku Abu Matsyah pun memenuhi permintaannya. Dengan
perasaan gembira, Dampu segera kembali ke rumahnya. Alangkah bahagianya hati
ibunya mendengar berita gembira itu.
Keesokan
harinya, sebelum Dampu Awang berangkat ke Pelabuhan, ibunya menitipkan kepadanya seekor burung perkutut bernama si
Ketut.
“Anakku! Bawalah si Ketut pergi bersamamu! Burung ini
peliharaan ayahmu dulu ketika masih hidup. Burung ini sangat mahir sebagai
pengantar pesan. Kamu harus selalu mengirimi Ibu kabar. Jaga dan rawatlah dia
dengan baik seperti kamu menjaga Ibu, ya Nak!” ujar ibunya.
“Baik, Bu! Dampu berjanji akan mengirim surat kepada Ibu
setiap awal bulan purnama,” jawab Dampu.
Setelah
itu, berangkatlah Dampu bersama ibunya ke pelabuhan. Setibanya di pelabuhan,
Teuku Abu Matsyah sudah menunggunya. Usai menyalami ibunya, Dampu Awang segera
naik ke atas kapal. Tak berapa lama kemudian, ia pun terlihat berdiri di anjungan
kapal sambil melambaikan tangan.
“Ibu... Dampu berangkat! Jaga diri Ibu baik-baik!” teriak
Dampu dari anjungan kapal.
“Iya, Dampu! Hati-hati di jalan! Jangan lupa cepat kembali,
ya Nak!” jawab janda tua itu.
Dengan
diiringi isap tangis ibunya, Dampu Awang meninggalkan pelabuhan Banten menuju
Negeri Malaka. Untuk mengganti ongkos kapal, ia ditugaskan oleh Teuku Abu
Matsyah membersihkan seluruh galangan kapal. Dampu Awang sangat rajin dan tekun
bekerja. Tak heran jika ia mendapat perhatian dari saudagar kaya itu.
“Hai,
Dampu! Apa yang akan kamu kerjakan di Nengeri Malaka?” tanya Teuku Abu Matsyah.
“Belum
tahu, Tuan! Saya baru akan mencari pekerjaan setibanya di sana nanti,” jawab
Dampu Awang.
`Kalau
begitu, maukah kamu ikut bekerja denganku?” bujuk saudagar kaya itu.
Tanpa
berpikir panjang, Dampu Awang menerima tawaran tersebut dengan senang hati.
Sejak Dampau ikut dengannya, usaha Teuku Abu Matsyah semakin maju dan
berkembang, sehingga dalam waktu tidak berapa lama ia mampu membeli sebuah
kapal lagi. Karena itu, saudagar itu semakin sayang kepada Dampu hingga
bermaksud menikahkan dia dengan putrinya yang bernama Siti Nurhasanah.
Pada
mulanya, Dampu Awang menolak tawaran itu, karena merasa dirinya sebagai anak
buah tak pantas menikah dengan putri juragannya.
“Maaf
Juragan! Saya tidak bermaksud menolak niat baik Juragan. Tapi, apakah saya
pantas menjadi pendamping hidup putri Juragan?” kata Dampu Awang dengan
merendah.
Teuku
Abu Matsyah hanya tersenyum sambil mengelus-elus jenggotnya yang mulai memutih.
“Jangan
khawatir, Dampu! Setelah kalian menikah nanti, aku akan mengangkatmu menjadi
nahkoda kapal dan mewariskan semua harta kekayaanku kepada kalian,” ujar Teuku
Abu Matsyah.
Akhirnya,
Dampu Awang dan Siti Nurhasanah menikah dan hidup bahagia. Beberapa bulan
setelah mereka menikah, ayah Siti Nurhasanah meninggal dunia. Sejak itu, Dampu
dan istrinya mewarisi seluruh harta kekayaan Teuku Abu Matsyah. Ia pun terkenal
sebagai saudagar kaya di Negeri Malaka. Ia hidup dengan penuh kemewahan dan
bergelimang harta, sehingga melupakan ibunya yang berada di kampung halaman.
Setelah lima tahun di perantauan, tiba-tiba timbul kerinduannya ingin kembali
ke tanah kelahirannya di Banten.
Pada
suatu hari, berangkatlah Dampu Awang bersama istri dan para pengawalnya ke Banten
dengan menggunakan kapal besar dan megah. Setelah berhari-hari mengarungi
lautan luas, tibalah mereka di pelabuhan Banten. Berita tentang kedatangan
kapal besar dan megah itu tersebar ke seluruh pelosok negeri Banten. Setiap
penduduk ramai membicarakan kemegahan kapal itu. Mereka bertanya-tanya siapa
gerangan pemiliknya. Karena penasaran, para penduduk Banten berbondong-bondong
menuju ke pelabahun. Di antara kerumunan orang banyak, tampak seorang perempuan
tua dengan wajah sumringah dan pakaian lusuh baru saja tiba. Dia adalah ibu
kandung Dampu Awang.
“Wah,
jangan-jangan pemilik kapal itu adalah putraku,” ucap ibu Dampu Awang.
Ibu
Dampu Awang berusaha menyusup di antara kerumunan orang banyak untuk melihat
kapal itu lebih dekat. Ketika mendekat, ia melihat seorang pemuda gagah berdiri
di anjungan kapal bersama seorang putri cantik. Mulanya, perempuan tua itu ragu
kalau pemuda itu adalah putranya, Dampu Awang. Tapi, setelah melihat ada seekor
burung perkutut bertengger di pundak pemuda itu, barulah ia merasa yakin bahwa
pemuda itu anaknya yang selama ini dirindukannya.
“Oh
Dampu Awang, Anakku! Akhirnya, kamu pulang juga,” ucapnya dengan perasaan
bahagia.
Perempuan
tua itu kemudian berteriak memanggil anaknya.
“Dampuuu...!
Dampu Awang, Anakku! Ini Ibu, Nak!” teriaknya sambil melambai-lambaikan tangan
di antara kerumunan orang.
Mendengar
teriakan itu, Dampu Awang segera mencari sumber suara teriakan itu. Namun,
ketika melihat orang yang berteriak itu adalah seorang nenek yang berwajah
lusuh dan berpakaian compang-camping, ia segera mengalihkan pandanganya. Ia
malu mengakui nenek tua itu sebagai ibunya di hadapan istrinya. Melihat sikap
suaminya, Siti Nurhasanah menjadi terheran-heran.
"Hai,
Kanda! Kenapa Kanda memalingkan wajah? Bukankah nenek itu mengaku sebagai ibu
Kanda? Benarkah dia Ibu Kanda?” tanya Siti Nurhasanah.
“Tidak,
Dinda! Perempuan tua itu bukan ibu Kanda!” tampik Dampu Awang. “Ibu Kanda kaya
raya dan cantik, tidak seperti nenek yang miskin dan keriput itu!”
“Tapi
Kanda, nenek itu terus memanggil-manggil nama Kanda,” kata istri Dampu.
“Sudahlah,
Dinda! Tidak usah hiraukan nenek keriput itu. Dia hanya mengada-ada,” ujar
Dampu Awang.
Usai
berkata begitu kepada istrinya, Dampu Awang membentak nenek itu dan
mengusirnya.
“Hai,
perempuan tua! Pergilah dari sini! Aku tidak pernah mempunyai Ibu seperti
dirimu,” bentak Dampu Awang.
Perempuan
malang itu bagai disambar petir di siang bolong mendengar bentakan itu. Hatinya
bagai teriris-iris mendapat perlakuan tidak senonoh dari darah dagingnya
sendiri. Ia tertunduk lesu seraya meneteskan air mata. Harapan, kebahagiaan,
dan penantiannya selama bertahun-tahun telah lenyap begitu saja. Ia duduk
bersimpuh memohon doa kepada Tuhan Yang Mahakuasa dengan penuh khusyuk.
“Oh,
Tuhan! Jikalau memang benar pemuda itu bukan putra hamba, biarkanlah ia tetap
pergi. Tapi, kalau dia putra hamba, Dampu Awang, berilah ia pelajaran karena
telah menyakiti perasaan ibunya sendiri,” pinta ibu Dampu.
Ketika
Dampu Awang bersama rombongannya akan meninggalkan pelabuhan Banten, tiba-tiba
langit menjadi gelap dan angin tertiup kencang. Petir menyambar-nyambar
kemudian diiringi hujan yang sangat deras. Dalam sekejap, dunia serasa kiamat.
Langit memuntahkan segala yang dikandungnya. Bumi bergoncang dengan dahsyatnya.
Air laut bergelombang setinggi gunung. Seluruh penduduk berlarian meninggalkan
pelabuhan untuk menyelamatkan diri.
Sementara
itu, Dampu Awang beserta anak buahnya terombang-ambing di lautan. Kapalnya
dipermain-mainkan oleh gelombang besar. Seluruh penumpang kapal menjadi panik
dan ketakutan. Dalam suasana panik seperti itu, tiba-tiba terjadi keajaiban. Si
Ketut tiba-tiba dapat berbicara seperti manusia.
“Hai,
Dampu Awang! Akuilah... akuilah... akuilah ibumu!” seru si Ketut.
Dampu
Awang tidak menghiraukan seruan si Ketut. Ia tetap tidak mau mengakui ibunya.
“Tidak!
Dia bukan ibuku! Dia bukan ibuku!” sergah Dampu Awang.
“Akuilah....
akuilah... akuilah ibumu, Dampu Awang!” si Ketut kembali berseru.
Berulang
kali si Ketut berseru kepadanya, Dampu Awang tetap saja menyangkal. Tanpa
diduganya, tiba-tiba angin puyuh datang dengan meliuk-liuk di atas laut menuju
ke arah kapalnya. Tak ayal lagi, kapalnya pun terseret masuk ke dalam pusaran
angin puyuh, lalu terbang berputar-putar di udara. Dalam keadaan panik, Dampu
Awang berteriak kencang.
“lbuuu...!
Ibuuu... tolong aku! Ini anakmu, Dampu Awang!”
Namun
apa hendak dibuat. Nasi telah menjadi bubur. Tuhan telah murkah kepadanya.
Kapalnya terus berputar-putar di udara dipermainkan angin puyuh. Lama-kelamaan,
kapal dan seluruh isinya terlempar jauh ke arah selatan dan jatuh tertelengkup.
Konon, perahu itu kemudian menjelma menjadi sebuah gunung yang kini dikenal
dengan nama Gunung Pinang.
* * *
Demikian
cerita Legenda Gunung Pinang dari Provinsi Banten. Pelajaran yang
terkandung dari cerita di atas terlihat pada sikap dan perilaku Dampu Awang,
yaitu ia pemuda yang rajin dan tekun bekerja serta memiliki tekad kuat untuk
maju. Ia berani meninggalkan kampung halamannya untuk memperbaiki nasib
keluarganya. Alhasil, ia menjadi orang yang kaya raya dan memperistri seorang
gadis cantik nan rupawan.
Namun
sayang, harta benda dan istri cantik yang dimilikinya telah membutakan mata
hati Dampu Awang. Ia tidak mau mengakui ibu kandungnya di hadapan istrinya
karena malu mempunyai seorang ibu yang miskin dan tua. Akibatnya, ia dan
kapalnya terseret angin puyuh hingga terlempar jauh dan akhirnya menjadi
gunung. Dari sini dapat dipetik pelajaran bahwa harta kekayaan, pangkat, dan
wanita cantik dapat membuat seseorang menjadi anak durhaka kepada orang tua.
Padahal, durhaka kepada orang tua merupakan salah satu dosa besar yang akan
ditanggung sendiri oleh si anak. Dikatakan dalam Tunjuk Ajar Melayu:
kalau ibu bapak dileceh-lecehkan,
dosa besar tak diampuni tuhan
dosa besar tak diampuni tuhan